Selasa, 17 Juni 2008

Selasa, 27 Mei 2008

NIHILISME AKIBAT KENAIKAN BBM


Kesusahan dan Nihilisme Rakyat Spanduk besar terpasang di Jalan Diponegoro, Jakarta. Pesannya memiriskan hati. Pada spanduk karya Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI) itu tertulis: Daftar orang susah, 5,4 juta balita kurang gizi, 8 juta anak telantar, 23 juta pengangguran, 110 juta rakyat miskin, 1 juta lebih Pelacur, 300 ribu pelajar drop out, 180 ribu mahasiswa, drop out, orang sakit 2,7 juta dst

Tidak jelas dari mana data diperoleh. Tetapi, yang terpenting pesan spanduk itu berhasil menggambarkan realitas kita kini bahwa memang semakin banyak orang susah di negeri ini. Naiknya harga bensin, minyak tanah, beras dan kebutuhan pokok lainnya telah melebihi jangkauan daya beli masyarakat. Banyak yang merasakan ketidakberdayaan.

Apa yang bisa dilakukan hanyalah memohon belas kasihan sesama. Jalan-jalan pun dijejali pengemis, dari bayi sampai uzur. Makin banyak rakyat yang terpaksa makan nasi aking atau tiwul demi mempertahankan hidup. Sebagian lagi mati sia-sia setelah didera busung lapar. Masyarakat yang susah mulai merasakan apa yang Cornel West sebut sebagai nihilisme (Race Matters H. 14).

Nihilisme bukanlah doktrin filsafat yang beranggapan tidak adanya dasar rasional yang mengabsahkan kekuasaan. West memiliki definisi sendiri terhadap nihilisme. Menurut West, nihilisme adalah pengalaman manusia yang hidup tanpa arti, tanpa harapan, dan tanpa cinta.

Nihilisme sering berujung pada keputusasaan. Rasa putus asa melahirkan ragam reaksi. Sebagian masyarakat yang putus asa menderita stres kronis dan terpaksa menjalani hidup mereka di balik jeruji rumah sakit gila. Sebagian lagi merasa terang sudah berganti menjadi kegelapan, jalan pun buntu, lalu memutuskan bunuh diri.

Bagi mereka, bunuh diri adalah satu-satunya alternatif karena kematian masih lebih baik daripada hidup susah tanpa makna dan tanpa cinta. Orang-orang yang bunuh diri adalah orang yang merasa diri sudah dilupakan dan diabaikan oleh sesama, oleh pemerintah, oleh wakil rakyat, dan bahkan oleh Tuhan.

Jumlah orang yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri meningkat dari tahun ke tahun. Sedihnya, bukan saja orang dewasa yang mengambil alternatif bunuh diri, anak-anak pun ikut-ikutan putus asa dan bunuh diri.

Di Bandung ada dua kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak, yang putus asa karena terpaksa berhenti sekolah akibat ketiadaan dana.

Ekspresi Kemarahan

Nihilisme yang melahirkan keputusasaan bisa meledakkan kemarahan dan kebencian. Intelektual Islam dari UCLA, Khaled Abou El Fadl, membangun teori menarik. Fadl mengatakan ada dua cara orang mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya. Cara pertama adalah mereka yang mengekspresikan kemarahan dengan motif dan tujuan yang jelas. Ekspresi kemarahan yang paling santun dilakukan melalui aksi protes. Protes keras masyarakat Serpong yang marah dengan cara menutup jalan tol di Serpong bertujuan menuntut ganti rugi atas tanah yang diambil untuk pelebaran jalan tol.

Aksi protes karyawan PT Dirgantara Indonesia yang telah dilakukan bertahun-tahun didasari motif dan tujuan yang jelas, yaitu menuntut pemulihan hak kepegawaiannya atau ganti rugi yang memadai. Sayangnya, aksi protes itu terkesan diabaikan. Mereka dianggap tidak ada! Terakhir demonstrasi penduduk Porong, Sidoarjo yang rumah dan tanahnya terendam lumpur bertujuan menuntut ganti rugi.

Dalam ketiga kasus di atas pemerintah terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Aksi protes masyarakat adalah ekspresi kemarahan karena tersumbatnya ruang dialog. Mengabaikan protes hanya memunculkan keputusasaan yang memicu aksi bunuh diri atau bahkan kekerasan yang membahayakan semua orang. Membungkam protes melalui pendekatan keamanan yang militeristik pun bukanlah cara terbaik menyelesaikan persoalan. Kedua pendekatan di atas hanya menggumpalkan keputusasaan masyarakat.

Orang putus asa bisa melakukan cara apa pun, termasuk kekerasan, dengan tujuan mempertahankan haknya. Orang yang putus asa tidak peduli terhadap hidupnya. Mereka bersedia menanggung risiko seberat apa pun yang penting motif dan tujuannya tercapai. Contoh jelas adalah pejuang Palestina yang melakukan aksi bom bunuh diri terhadap pasukan pendudukan Israel.

Motif mereka, menurut Abou El Fadl, adalah pembebasan tanah airnya dari pendudukan Israel. Jadi, dalam setiap aksi ada tujuan yang hendak dicapai. Ada klaim yang dikejar! Itulah sebabnya penyelesaian terbaik dalam berbagai persoalan adalah dengan kesediaan menyelesaikan berbagai persoalan melalui dialog yang santun. Dialog dimulai dengan kesediaan mendengar keluh kesah dan penderitaan sesama dan dari situ berupaya mencari solusi yang terbaik bagi semua.

Kebencian

Cara kedua orang putus asa mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya adalah, celakanya, sering tidak didasari dengan motivasi dan tujuan yang jelas. Abou El Fadl memberikan contoh bagus. Penyerangan terhadap gedung pencakar langit WTC di New York pada peristiwa 11 September 2001 dilakukan dengan motivasi dan tujuan yang sama sekali tidak jelas. Pelaku penyerangan itu sendiri tewas dalam aksinya.

Penyerangan itu sendiri adalah muntahan kemarahan dan kebencian terhadap simbol kebesaran Amerika Serikat. Tidak ada klaim apa pun. Tidak ada tuntutan kemerdekaan terhadap sejengkal tanah atau tuntutan pembebasan terhadap siapa pun! Seolah yang hendak dicapai cuma pemberotakan terhadap nihilisme, suatu penegasan bahwa "kami eksis!"

Peristiwa WTC memiliki kesamaan dengan kasus Amrozi di Bali. Amrozi dan kawan-kawan memuntahkan kemarahan dan kebencian yang telah bergejolak dalam hati. Kemarahan demi kemarahan itu sendiri! Karena itu, mengabaikan berbagai penderitaan dan kesusahan masyarakat berpotensi menebarkan virus nihilisme yang melahirkan kemarahan dan bahkan kekerasan yang membahayakan seluruh bangsa.

Kita perlu membangun peradaban baru guna menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, yaitu melalui membuka ruang dialog seluas-luasnya, memfasilitasi percakapan bahkan perdebatan rasional, dan melalui hukum yang harus ditegakkan. Pemerintah harus berani memulainya. Semoga!

SOLUSI KEBLINGER "ORANG ORANG PINTER"



SOLUSI KEBLINGER "ORANG ORANG PINTER"
SBY dalam pidatonya mengatakan : “Tidak mudah menaikkan harga BBM, meskipun harga minyak terus melambung. Padahal subsidi untuk BBM sudah mencapai Rp 260 triliun...’
Senada dengan pernyataan mentri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan Pemerintah fokus pada penghematan subsidi BBM. Pemerintah sudah berkomitmen tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi setidaknya sampai 2009.

AGAKNYA Pemerintah perlu menghitung kembali berbagai dampak yang ditimbulkan, jika berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), sebagai respons terhadap terus melambungnya harga minyak dunia. Sebab, masih ada cara lain yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan APBN dari tekanan membengkaknya subsidi BBM.( alasan kenaikan BBM didunia hingga 100 dolar/barel) mengingat kebijakan terdahulu saat harga minyak didunia 60 dollar/barel pemerintah sudah 2 kali menaikkan harga BBM hingga 120% lantas KEMANA saja hasil subsidi yang sudah dicabut dari rakyat itu ? kenyataan yang terjadi fakta dan kondisi masyarakat hingga hari ini menanggung beban dampak kenaikan harga harga disegala bidang, tentu saja kemiskinan menjadi jawaban dari kebijaksanaan kenaikan BBM tsb.

masalah minyak bukan saja masalah Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah global yang harus disikapi secara bijaksana dan hati-hati. malaysia, korea, thailand dan singapura, tidak bisa semata mata dijadikan contoh sebagai negara yang dapat menjaga stabilitasnya meski ditengah gejolak harga minyak dunia, karena sejak awal mereka sudah menjaga stabilitas itu dengan memiliki kebijakan energi nasionalnya, sedangkan Indonesia hingga hari ini meski banyak orang pintar dan cerdas diatas sana yang mempunyai akses ekonomi nasional (Berkeley,CSIS, dll) tidak pernah berhasil menyusun kebijakan energi nasionalnya, akibatnya jalan pintas senantiasa dipilih dengan menaikkan bbm dengan argumentasi yang tidak singkron dengan aplikasi dilapangan, akibatnya dapat dirasakan masyarakat, stigma yang ada dibenak rakyat adalah BBM naik sama dengan Harga harga selangit... !.

Setidaknya, ada tiga opsi kebijakan yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasi tekanan terhadap APBN. Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari pajak ekspor pertambangan dan perkebunan dalam negeri yang saat ini ikut menikmati dampak kenaikan harga minyak tersebut. Kedua, merenegosiasi utang-utang luar negeri. Ketiga, melakukan efisiensi anggaran.

Seharusnya pemerintah perlu meningkatkan produksi minyak dalam negeri, setidaknya hingga 1,2 juta barel per hari. "Pada masa Pemerintahan Megawati, tahun 2004 Indonesia menghasilkan 1,2 juta barel per hari. Saat ini pemerintah hanya menghasilkan 910.000 barel per hari," pemerintah masih dapat mengupayakan alternatif lain. Sebagai negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), pemerintah bisa mendesak negara produsen minyak lainnya untuk meningkatkan produksinya. atau pernahkah kita berpikir jika OPEC ini tidak menghasilhan efek positif bagi Indonesia, jika benar tidak bermanfaat untuk apa kita bergabung didalam OPEC tersebut ? contohnya saja kenaikan harga minyak dunia saat ini didominasi faktor nonfundamental, yakni ulah para spekulan yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga minyak .. , salam


MULTIKULTURALISME

pandangan tokoh muslim Zakiyuddin baidhawy

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan
adalah bahwa realitas multikultural secara
langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri.
dalam konteks ini,
spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali
untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja
melalui pembacaan ulang
dan memperdengarkan kembali secara produktif
untuk menghadirkan kedalaman makna
yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.

Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.

Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.

Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.

Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.

Sulam Ragam Rajut Harmoni

Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".

Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).

Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.

Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.

Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.

Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatIf